Kartu Kredit

Relaksasi Kartu Kredit Dinilai Jaga Stabilitas Konsumsi Rumah Tangga

Relaksasi Kartu Kredit Dinilai Jaga Stabilitas Konsumsi Rumah Tangga
Relaksasi Kartu Kredit Dinilai Jaga Stabilitas Konsumsi Rumah Tangga

JAKARTA - Perpanjangan kebijakan relaksasi kartu kredit oleh Bank Indonesia kembali memantik diskusi di kalangan pelaku ekonomi dan perbankan. Kebijakan yang mencakup keringanan pembayaran minimum serta pembatasan denda keterlambatan ini dinilai memiliki implikasi yang lebih luas daripada sekadar meringankan beban tagihan bulanan. 

Dari sudut pandang makro, kebijakan tersebut dipahami sebagai instrumen stabilisasi yang menjaga ritme konsumsi masyarakat tetap berjalan di tengah dinamika pendapatan rumah tangga.

Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menilai bahwa perpanjangan pembayaran minimum kartu kredit sebesar 5% dan pembatasan denda keterlambatan memang dapat berkontribusi pada meningkatnya transaksi konsumsi. 

Namun, ia menegaskan bahwa dampak kebijakan ini lebih kuat sebagai penyangga kelancaran arus kas rumah tangga dibandingkan sebagai pendorong konsumsi baru dalam skala besar.

Relaksasi Kartu Kredit dan Arus Kas Rumah Tangga

Menurut Josua, keringanan pembayaran minimum memberi ruang likuiditas jangka pendek bagi pemegang kartu kredit. Dengan beban cicilan minimum yang lebih ringan, sebagian nasabah tidak harus menahan belanja ketika kondisi pendapatan sedang tidak stabil. Kebijakan ini membantu rumah tangga menjaga kelancaran pengeluaran rutin tanpa langsung tertekan oleh kewajiban pembayaran penuh.

“Pada saat yang sama pembatasan denda mengurangi kejutan biaya yang sering memicu tunggakan,” kata Josua.

Meski demikian, Josua mengingatkan bahwa manfaat ini perlu dilihat secara hati-hati. Jika porsi pembayaran minimum ditetapkan terlalu kecil, sebagian nasabah justru berpotensi menumpuk saldo bergulir dalam jangka waktu yang lebih panjang. Kondisi tersebut pada akhirnya akan meningkatkan beban bunga yang harus ditanggung.

Dalam perspektif jangka menengah, akumulasi bunga ini bisa menekan daya beli pada bulan-bulan berikutnya. Oleh sebab itu, Josua menilai dampak bersih relaksasi kartu kredit terhadap konsumsi tidak otomatis besar dan sangat bergantung pada profil nasabah, stabilitas pendapatan, serta kebijakan manajemen risiko yang diterapkan oleh masing-masing bank penerbit kartu kredit.

Dinamika Konsumsi di Tengah Perubahan Sistem Pembayaran

Josua juga memaparkan bahwa berdasarkan data transaksi, nilai transaksi kartu kredit pada kuartal III/2025 mencapai Rp118 triliun dan didominasi oleh transaksi belanja. Angka ini menunjukkan bahwa kartu kredit masih memiliki peran penting dalam menopang aktivitas konsumsi masyarakat, terutama untuk transaksi bernilai menengah hingga besar.

Namun demikian, ia menekankan bahwa secara struktur sistem pembayaran, dorongan konsumsi harian kini semakin banyak tersalurkan melalui instrumen lain yang lebih masif. Uang elektronik dan pembayaran berbasis aplikasi dinilai lebih dominan dalam menopang transaksi sehari-hari masyarakat.

“...sehingga pengaruh kebijakan kartu kredit ke konsumsi agregat cenderung terbatas dibandingkan gelombang digitalisasi yang lebih luas,” ujarnya.

Dengan kata lain, relaksasi kartu kredit lebih berfungsi sebagai bantalan stabilitas bagi kelompok pengguna tertentu, bukan sebagai motor utama peningkatan konsumsi nasional. Pergeseran perilaku masyarakat menuju transaksi digital yang cepat dan praktis turut mengubah peta kontribusi masing-masing instrumen pembayaran.

Tarif SKNBI Murah dan Perilaku Transaksi Nontunai

Selain kebijakan kartu kredit, perhatian juga tertuju pada perpanjangan tarif Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang murah. Menurut Josua, tarif SKNBI pada dasarnya efektif sebagai pengungkit adopsi transaksi nontunai, khususnya untuk transaksi rutin yang sensitif terhadap biaya.

Tarif murah ini mendorong berbagai aktivitas seperti transfer antarbank bernilai kecil hingga menengah, pembayaran tagihan, pembayaran pemasok, serta penyaluran dana usaha harian. Dengan biaya yang rendah dan kepastian tarif, hambatan bertransaksi menjadi semakin kecil.

“Mekanismenya sederhana, ketika biaya turun dan kepastian biaya meningkat, hambatan untuk bertransaksi ikut turun, frekuensi transaksi cenderung naik, dan pelaku usaha kecil lebih berani memindahkan arus kas dari tunai ke rekening,” tuturnya.

Data transaksi SKN menunjukkan bahwa pada kuartal III/2025 volume transaksi mencapai 36,87 juta dengan nominal sekitar Rp1.295 triliun. Capaian tersebut meningkat baik dari sisi volume maupun nominal dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, menandakan efektivitas kebijakan tarif murah dalam mendorong aktivitas transaksi.

Batas Efektivitas dan Arah Kebijakan Ke Depan

Meski demikian, Josua menilai bahwa efektivitas tarif murah SKNBI tetap memiliki batas. Penguatan transaksi nontunai sehari-hari tidak hanya ditentukan oleh biaya, tetapi juga oleh faktor lain seperti kecepatan proses, kenyamanan aplikasi, jangkauan penerima, serta kepastian layanan.

Kanal ritel yang semakin diminati masyarakat umumnya adalah yang menawarkan transaksi cepat, mudah, dan murah. Kombinasi faktor tersebut dinilai mampu memperluas transaksi harian sekaligus meningkatkan inklusi keuangan.

“Dalam konteks ini, kanal ritel lain seperti BI-FAST juga menjadi pembanding penting karena biaya ke nasabah dibatasi dan volumenya sudah sangat besar,” pungkasnya.

Sebagai informasi, Bank Indonesia kembali memperpanjang kebijakan kartu kredit seiring dengan perpanjangan kebijakan tarif SKNBI. Dalam catatan Bisnis, kebijakan ini sejatinya berakhir pada 31 Desember 2025. Namun, dalam Rapat Dewan Gubernur bulanan pada Juni 2025, Gubernur BI Perry Warjiyo mengumumkan perpanjangan kebijakan tersebut. 

Terbaru, otoritas moneter kembali memperpanjangnya hingga 30 Juni 2026, termasuk ketentuan pembayaran minimum kartu kredit 5%, batas denda keterlambatan maksimum 1% dari total tagihan atau Rp100.000, serta tarif SKNBI yang tetap rendah dari Bank Indonesia ke bank dan dari bank ke nasabah.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index